Sebagai pelaku lapangan dalam
program pendataan desa, saya merasa perlu menyampaikan apresiasi yang mendalam
atas terselenggaranya Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan
Badan Pengembangan dan Informasi (BPI) Kementerian Desa Pembangunan Daerah
Tertinggal Republik Indonesia pada 27 November kemarin. Forum tersebut menjadi
angin segar yang telah lama dinantikan oleh para Tenaga Pendamping Profesional
(TPP) maupun para pelaku pembangunan di tingkat desa. Bahkan para kepala desa,
yang berada di garda terdepan implementasi kebijakan, merasakan pentingnya
ruang dialog seperti ini.
Beberapa hal yang ingin saya utarakan sebenarnya hendak disampaikan dalam forum tersebut. Namun karena keterbatasan waktu dan banyaknya peserta, tidak semua aspirasi sempat tersampaikan. Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya mencoba merangkum beberapa pokok pikiran yang—saya yakin—juga mewakili suara banyak rekan pendamping di lapangan.
Menanti Kejelasan Arah Kebijakan
Sejak akhir 2024, TPP Ciamis telah
melakukan koordinasi intens dengan Pusdatin, khususnya terkait rencana
perubahan menu pada sistem pendataan desa. Informasi yang kami terima saat itu,
perubahan tersebut tengah dipersiapkan untuk mendukung implementasi pendataan
tahun 2025. Namun demikian, pihak pusat masih menunggu arahan final dari
pimpinan Kementerian Desa.
Meski belum ada keputusan final, kami tetap berupaya menjaga optimisme. Di Ciamis, kami bahkan melibatkan para Pokja Desa dalam proses persiapan agar pemutakhiran data 2025 tetap dapat berjalan. Namun di tengah perjalanan, tidak muncul kejelasan kebijakan yang kami nantikan. Hal ini membuat banyak pelaku lapangan berada dalam situasi “menunggu dalam kecemasan”—apakah program pendataan desa akan dilanjutkan atau berhenti.
Di sisi lain, Pusdatin sendiri tampak sangat terbebani oleh banyaknya pertanyaan, laporan, keluhan, bahkan konsultasi dari rekan-rekan pendamping maupun pokja desa di seluruh Indonesia. Terlebih, perubahan struktur organisasi membuat proses pengambilan keputusan membutuhkan waktu lebih lama. Maka hadirnya FGD ini menjadi tanda bahwa harapan itu belum padam.
Sistem yang Baik Membutuhkan Konsistensi
Terlepas dari dinamika yang terjadi,
saya pribadi meyakini bahwa sistem pendataan desa yang telah disiapkan
sebenarnya bagus, bahkan sangat visioner. Tujuan Sustainable Development Goals
(SDGs) Desa memang bersifat ambisius—dan karena itu membutuhkan waktu panjang,
konsistensi, dan pembenahan bertahap dalam implementasinya.
Melalui FGD yang lalu, kami menerima informasi bahwa BPI tengah merancang regulasi yang akan menentukan arah keberlanjutan program pendataan desa, termasuk penguatan Sistem Informasi Desa yang menjadi tulang punggungnya. Ini tentu kabar yang melegakan.
Namun demikian, terdapat beberapa catatan penting dari lapangan yang saya rasa perlu menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan regulasi tersebut:
Sangat penting bagi pemerintah pusat
untuk memastikan bahwa sistem baru tidak memulai pendataan dari awal. Data SDGs
yang telah masuk ke dashboard harus dapat dimigrasikan dan disesuaikan dengan
indikator baru. Mengulang proses dari nol tidak hanya memakan waktu, tetapi
juga menguras energi dan anggaran. Sebagai catatan saja pada awal pendataan di
tahun 2021 Kabupaten Ciamis dengan 258 desa terakumulasi anggaran pendataan
sdgs desa sebanyak Rp 1,6 Milyar. Belum lagi pemutakhiran di tahun tahun
berikutnya dengan kisaran Rp 5-10 juta an di rata rata desa.
Data penduduk bersifat dinamis—usia,
status pekerjaan, pendidikan, dan kondisi lainnya berubah setiap waktu.
Idealnya, sistem mampu melakukan pembaruan otomatis. Contoh paling sederhana:
jika pada 2021 seseorang berusia 17 tahun, maka sistem harus bisa mengetahui
bahwa pada 2025 orang tersebut sudah berusia 21 tahun, tanpa penginputan ulang
secara manual. Termasuk menu penghapusan otomatis untuk individu yang meninggal
supaya jumlah penduduk tetap ter update.
Salah satu tantangan terbesar adalah
kurangnya sinkronisasi lintas kementerian. Kementerian Desa, Bappenas, dan
Kementerian Dalam Negeri harus memiliki kesamaan pandangan bahwa SDGs Desa
dapat menjadi rujukan satu data untuk perencanaan pembangunan daerah. Tanpa
keselarasan, data desa tidak akan benar-benar menjadi instrumen perencanaan
nasional. Adanya pengakuan atas hasil pendataan Indeks Desa 2025 perlu menjadi
rujukan bahwa kolaborasi ini bisa di lanjutkan pada pendataan SDGs Desa juga.
Sistem yang baik akan kehilangan
makna ketika server tidak mampu menampung beban kerja ribuan desa. Pengalaman
di lapangan menunjukkan betapa seringnya gangguan server menghambat proses
pendataan. Ini harus menjadi pembelajaran serius agar hambatan teknis tidak
lagi berulang. Mengingat besarnya data yang harus ter upload terkadang cukup menguji
kesabaran para pelaku di lapangan untuk menampilkan data yang berkualitas.
Pemahaman terkait sistem dan
indikator tidak boleh hanya dimiliki oleh PIC tertentu. Sosialisasi berjenjang
yang melibatkan seluruh Tenaga Pendamping Profesional merupakan keharusan agar
kualitas pendataan merata. Pendamping adalah ujung tombak, dan mereka harus
diperlengkapi secara memadai. Salah satu kelemahan dalam mengawal pendataan
SDGs Desa sebelumnya adalah tidak ter kelola secara massif dan berjenjang.
Sehingga targetnya menjadi jelas dan terukur.
Agar pendataan desa memiliki
kekuatan strategis, keberadaan Kelompok Kerja (Pokja) SDGs perlu dibentuk mulai
dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten, hingga kecamatan. Dengan demikian, isu
pendataan tidak hanya menjadi urusan Kementerian Desa, Pendamping Desa dan
Pemerintah Desa saja tetapi juga menjadi perhatian pemerintah daerah.
SDGs Desa bahkan dapat menjadi instrumen utama untuk mencapai Asta Cita Presiden Prabowo, khususnya pada agenda ke-6 mengenai pembangunan desa. Jika demikian, sudah seharusnya pemerintah daerah menjadikannya bagian dari visi dan misi daerah.
Harapan yang Kembali Tumbuh
FGD yang diselenggarakan BPI telah
menghidupkan kembali optimisme yang sempat meredup. Para pendamping lapangan
kini kembali memiliki harapan bahwa pendataan desa akan mendapatkan arah
kebijakan yang jelas dan lebih kuat.
Pendataan desa bukan sekadar kegiatan administratif. Ia adalah fondasi pembangunan. Tanpa data yang baik, kebijakan hanya akan menjadi dugaan. Dengan data yang kuat, pembangunan dapat tepat sasaran, terukur, dan berkelanjutan.
Semoga suara dari lapangan dapat menjadi bagian dari penyempurnaan sistem dan regulasi yang tengah dirancang. Kami di desa siap bergerak, selama arahnya jelas dan dukungan sistem diberikan secara optimal.
.png)
0 Komentar